Adalah duel klasik antara Real Madrid dan Barcelona.
Duel ini sudah berlangsung sejak dulu, tepatnya pada awal kompetisi La liga
(liga spanyol) di mulai. Awalnya memang ini menjadi duel biasa namun situasi
politik memanas dan terjadi perang saudara di spanyol pada tahun 1930an. Duel
ini pun tak lepas dari perjalanan sejarah Negara spanyol. Malah bisa di bilang
perang saudara di spanyol yg terjadi pada thn 1930an menjadi latar belakang El
classic. Dan dari situ di mulai lah permusuhan antara Real Madrid dan
Barcelona. Semenjak itu setiap mereka bertemu kental dengan aroma politik dan
balas dendam rakyat katalan (Barcelona) pada pemerintah pusat. Padahal
pergolakan politik yg terjadi pada saat itu tidak memiliki hubungan dengan Real
Madrid sebagai institusi klub sepak bola. Tetapi rakyat katalan memakai klub
sebagai corong atau alat kampanye untuk kemerdekaan katalunya. Dan klub real
Madrid sebagai klub ibu kota sebagai kepanjangan tangan dari dictator spanyol
pada masa itu yakni Jendral Franco. Di tambah lagi sang jendral memakai lambang
real Madrid sebagai lambang kemakmuran dan kesuksesan Negara spanyol. Jadi
pertarungan kedua tim ini ibarat perang, real Madrid sebagai perwakilan
pemerintah pusat sedangkan Bracelona sebagai kaum yg tertindas, terpinggirkan,
dan terjajah di sebuah wilayah kekuasaan yg bernama kerajaan Spanyol.
Padahal
kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan pemikiran pendukung Barcelona.
Banyak juga staff dan pendukung real Madrid yg menjadi korban keganasan
dictator Franco. Salah satunya adalah legenda terbesar bacelona yakni Paulino
Alcantara. Dia malah menjadi pendukung Franco dan terlibat dalam peperangan
bersama kubu pro-Franco, yaitu Falagist.
Dalam kampanye untuk menyatukan spanyol dari paham sayap kanan sekaligus
“membersihkan” Spanyol dari sayap kiri, Franco melakukan segala cara untuk
mencapai tujuanya. Tidak heran jika kemudian Barcelona menjadi target
“pembersihan” paham sayap kiri. Keputusan Franco ini memang di dasarkan fakta
jika paham sayap kiri berkembang di catalunya. Barcelona sebagai lambang
kebebasan memang sudah disisipi oleh paham komunis. Bahkan pada perang saudara
Spanyol, tentara pembebasan katalunya mendapat suplai senjata dan amunisi dari
Negara komunis Uni Soviet.
Salah
satu korban dari Franco adalah mantan presiden Barcelona, Josep Sunyol. Dia di
eksekusi tentara karna dianggap menyebarkan paham komunis. Kala itu tepatnya
tahun 1936, Suyol memang aktiv di partai Republik. Namun pembunuhan Sunyol
tidak ada hubunganya dengan rivalitas Real Madrid dan Barcelona. Eksekusi
Sonyul murni karna politik. Tetapi hal tersebut di jadikan salah satu alasan
kebencian pihak Barcelona terhadap kubu Real Madrid. Jenderal Franco juga
melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. FC Barcelona kemudian
menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan
berbicara dalam bahasa daerah mereka. Oleh sebabnya, setiap laga El-Clasico
pendukung Barca terlihat kerap membawa bendera Catalonia (biru, kuning dan
merah-marun) sebagai bendera mereka, bukan bendera nasional Spanyol pada
umumnya. Sampai
saat ini tidak di temukan bukti jika Franco membantu kesuksesan Real Madrid
sebagaimana yg di tuduhkan. Bukti kongkrit yg muncul pada akhir tahun 2013
adalah dokumen yg di tandatangani Franco mengenai persetujuan transfer alfredo
Di Stefano ke Real Madrid.
Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan
ini terjadi pada tahun 1941 ketika para pemain Barcelona diinstruksikan
(dibawah ancaman militer) untuk kalah dari Real Madrid. Barcelona akhirnya
kalah dan gawang mereka kemasukan 11 gol
dari Real Madrid. Sebagai bentuk protes, Barcelona bermain serius dalam 1
serangan dan mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan Franco sadar bahwa 1 gol itu
adalah symbol dari perlawan. Akhirnya kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan
pengaturan skor pertandingan dan dilarang untuk bermain sepakbola lagi seumur
hidupnya. Sejak saat itu FC Barcelona menjadi semacam klub Anti-Franco dan
menjadi simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco, dan secara umum, terhadap
Spanyol. Ada juga klub-klub lain di Catalonia seperti Athletic Bilbao dan
Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini tetap pada idealismenya untuk hanya
merekrut pemain-pemain asli Katalan, Tetapi dari segi prestasi tidak
sementereng Barcelona. Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan
simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di
ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur
dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun
pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.
Sebagai penyerang,
Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang
Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain
bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal
biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol
perlawanan. Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan
Real Madrid yang waktu itu diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai
anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid memang selalu memiliki sumber
dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2 dasawarsa tersebut
hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali piala raja, dan satu kali
piala Inter City Honest (yang kemudian menjadi UEFA Cup).
Pada tahun 1973, seorang
pemain Belanda yang kelak menjadi salah satu legenda Barcelona, Johan Cruyff,
bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan persnya ketika diperkenalkan, Cruyff
menyatakan bahwa ia lebih memilih Barcelona dibanding Real Madrid karena ia
tidak akan mau bermain di sebuah klub yang diasosiasikan dengan
Franco. Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa
Barcelona memenangi gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa
gelar), dan dalam prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang
Madrid sendiri dengan skor 5-0. Pada tahun itu Johan Cruyff dinobatkan sebagai
pesepakbola terbaik Eropa, dan memberi nama anaknya dengan nama khas Catalan,
yaitu Jordi. Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi Cruyff sendiri pada
akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir sepakbolanya lebih banyak
dihabiskan di klub-klub medioker, meski sempat beberapa tahun memperkuat
Manchester United.
Selanjutnya, permusuhan
itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai
sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan berjalan
dengan lebih sehat. Tapi permusuhan yang sejak dulu telah begitu mengakar
menjadikan duel diantara keduanya selalu menjanjikan sesuatu yang spesial. Inilah
mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali
setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang
menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.
Meski berulang setiap
tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan Bobby
Robson ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai akhir
1990-an sampai mengibaratkan el classico sebagai sebuah perang, bukan sekedar
pertandingan sepak bola. Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona
ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan 'serdadu'
perang, bukan sebuah 'kesebelasan' sepak bola, karena begitu besarnya
kehormatan yang dipertaruhkan. Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena
ketika dia diangkat sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh
klub: "Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi jangan
sampai kalah dari Real Madrid...," Meski begitu di dalam lapangan,
peperangan ini sepanjang sejarahnya selalu berlangsung dalam sportifitas yang
tinggi, karena sportifitas pun merupakan satu bentuk kehormatan yang harus
dijaga. Ini soal nama baik.
Transfer pemain adalah
salah satu bentuk perang di luar lapangan. Dalam hal ini, perpindahan pemain
dari Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah
bentuk pengkhianatans Figo mungkin adalah salah seorang yang paling mengerti
mengenai hal ini. Direkrut oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang
kala itu bukan siapa-siapaa tersebut kemudian menemui masa-masa jayanya.
Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan tim, dan bersama
Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an. Akan tetapi, pada
tahun 2001, dunia tersentak ketika Figo menerima tawaran Real Madrid dengan
iming-iming gaji dua kali lipat dan nilai transfer yang ketika itu menjadi
rekor pembelian termahal seorang pemain sepak bola. Nilai itu melebihi batas
klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus menerima tawaran tersebut
berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu tetap tidak akan terjadi
seandainya Figo secara pribadi tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya
Figo berkhianat.
Dalam duel el classico
tahun berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang
Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan
dilupakannya seumur hidup. Seorang pendukung Barcelona di tengah-tengah
pertandingan berhasil menerobos pagar petugas keamanan, sambil memakai bendera
Barcelona sebagai jubah, kemudian berlari ke arah Figo membawa sebuah hadiah
istimewa, yakni: Sebuah kepala babi, lengkap dengan darah masih menetes dari
lehernya. Ia kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi itu ke arah
Figo. Figo sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu berjalan menjauh. entah apa yg yg ada dalam pikiranya saat itu. karena ia tahu kepala babi itu adalah simbol keserakahan dan penghianatan. pertandingan tersebut juga disebut sebagai "Derby yang Memalukan" oleh harian Marca.
Laga el classico ini juga mempengaruhi peta
perang media massa di spanyol. Sebelumnya Marca dan Mundo Deportivo netral.
Tetapi seiring berjalanya waktu kedua media massa tersebut harus memilih salah
satu pihak agar oplah penjualan Koran bisa naik. Saking pentingnya kedua klub
ini bagi media massa di spanyol, klub2 lain kurang mendapat perhatian dan
ekspos dari media hingga saat ini. Ekspos media yg secara besar2an terhadap el
classico membuat semua orang di spanyol memilih salah satu klub tersebut. El
classico memang di tonton jutaan orang dari seluruh penjuru dunia. Tidak peduli
klub apa yg di dukung, Kala el classico berlangsung setiap orang akan memihak
salah satu diantara keduanya.
Sumber:
Buku derby karya Rockin Marvin
No comments:
Post a Comment