Tuesday 25 April 2017

EL CLASSICO


              Adalah duel klasik antara Real Madrid dan Barcelona. Duel ini sudah berlangsung sejak dulu, tepatnya pada awal kompetisi La liga (liga spanyol) di mulai. Awalnya memang ini menjadi duel biasa namun situasi politik memanas dan terjadi perang saudara di spanyol pada tahun 1930an. Duel ini pun tak lepas dari perjalanan sejarah Negara spanyol. Malah bisa di bilang perang saudara di spanyol yg terjadi pada thn 1930an menjadi latar belakang El classic. Dan dari situ di mulai lah permusuhan antara Real Madrid dan Barcelona. Semenjak itu setiap mereka bertemu kental dengan aroma politik dan balas dendam rakyat katalan (Barcelona) pada pemerintah pusat. Padahal pergolakan politik yg terjadi pada saat itu tidak memiliki hubungan dengan Real Madrid sebagai institusi klub sepak bola. Tetapi rakyat katalan memakai klub sebagai corong atau alat kampanye untuk kemerdekaan katalunya. Dan klub real Madrid sebagai klub ibu kota sebagai kepanjangan tangan dari dictator spanyol pada masa itu yakni Jendral Franco. Di tambah lagi sang jendral memakai lambang real Madrid sebagai lambang kemakmuran dan kesuksesan Negara spanyol. Jadi pertarungan kedua tim ini ibarat perang, real Madrid sebagai perwakilan pemerintah pusat sedangkan Bracelona sebagai kaum yg tertindas, terpinggirkan, dan terjajah di sebuah wilayah kekuasaan yg bernama kerajaan Spanyol.



            Padahal kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan pemikiran pendukung Barcelona. Banyak juga staff dan pendukung real Madrid yg menjadi korban keganasan dictator Franco. Salah satunya adalah legenda terbesar bacelona yakni Paulino Alcantara. Dia malah menjadi pendukung Franco dan terlibat dalam peperangan bersama kubu pro-Franco, yaitu Falagist. Dalam kampanye untuk menyatukan spanyol dari paham sayap kanan sekaligus “membersihkan” Spanyol dari sayap kiri, Franco melakukan segala cara untuk mencapai tujuanya. Tidak heran jika kemudian Barcelona menjadi target “pembersihan” paham sayap kiri. Keputusan Franco ini memang di dasarkan fakta jika paham sayap kiri berkembang di catalunya. Barcelona sebagai lambang kebebasan memang sudah disisipi oleh paham komunis. Bahkan pada perang saudara Spanyol, tentara pembebasan katalunya mendapat suplai senjata dan amunisi dari Negara komunis Uni Soviet.

            Salah satu korban dari Franco adalah mantan presiden Barcelona, Josep Sunyol. Dia di eksekusi tentara karna dianggap menyebarkan paham komunis. Kala itu tepatnya tahun 1936, Suyol memang aktiv di partai Republik. Namun pembunuhan Sunyol tidak ada hubunganya dengan rivalitas Real Madrid dan Barcelona. Eksekusi Sonyul murni karna politik. Tetapi hal tersebut di jadikan salah satu alasan kebencian pihak Barcelona terhadap kubu Real Madrid. Jenderal Franco juga melarang penggunaan bendera dan bahasa daerah Catalan. FC Barcelona kemudian menjadi satu-satunya tempat dimana sekumpulan besar orang dapat berkumpul dan berbicara dalam bahasa daerah mereka. Oleh sebabnya, setiap laga El-Clasico pendukung Barca terlihat kerap membawa bendera Catalonia (biru, kuning dan merah-marun) sebagai bendera mereka, bukan bendera nasional Spanyol pada umumnya. Sampai saat ini tidak di temukan bukti jika Franco membantu kesuksesan Real Madrid sebagaimana yg di tuduhkan. Bukti kongkrit yg muncul pada akhir tahun 2013 adalah dokumen yg di tandatangani Franco mengenai persetujuan transfer alfredo Di Stefano ke Real Madrid.  

            Di lapangan sepakbola, titik nadir permusuhan ini terjadi pada tahun 1941 ketika para pemain Barcelona diinstruksikan (dibawah ancaman militer) untuk kalah dari Real Madrid. Barcelona akhirnya  kalah dan gawang mereka kemasukan 11 gol dari Real Madrid. Sebagai bentuk protes, Barcelona bermain serius dalam 1 serangan dan mencetak 1 gol. Skor akhir 11-1, dan Franco sadar bahwa 1 gol itu adalah symbol dari perlawan. Akhirnya kiper Barcelona kemudian dijatuhi tuduhan pengaturan skor pertandingan dan dilarang untuk bermain sepakbola lagi seumur hidupnya. Sejak saat itu FC Barcelona menjadi semacam klub Anti-Franco dan menjadi simbol perlawanan Catalonia terhadap Franco, dan secara umum, terhadap Spanyol. Ada juga klub-klub lain di Catalonia seperti Athletic Bilbao dan Espanyol. Athletic Bilbao sampai saat ini tetap pada idealismenya untuk hanya merekrut pemain-pemain asli Katalan, Tetapi dari segi prestasi tidak sementereng Barcelona. Demikian juga dengan Espanyol. Sementara yang dijadikan simbol musuh, tentu saja, adalah klub kesayangan Franco yang bermarkas di ibukota Spanyol, FC Real Madrid. Sebagai sebuah simbol perlawanan, kultur dan karakter Barcelona kemudian terbentuk dengan sendirinya. Siapapun pelatihnya, dan gaya apapun yang dipakai, karakternya hanya satu: Menyerang!.

Sebagai penyerang, Barcelona bermaksud untuk mendobrak dominasi Real Madrid (dan bagi orang Catalonia, mendobrak dominasi Spanyol). Untuk itulah Barcelona pantang bermain bertahan, karena itu adalah simbol ketakutan. Kalah atau menang adalah hal biasa. Tapi keberanian memegang karakter, itulah yang menjadi simbol perlawanan. Pada tahun 50-an dan 60-an, Barca memang tertutup oleh kejayaan Real Madrid yang waktu itu diperkuat Ferenc Puskas, Di Stefano, dsb. Sebagai anak emas Franco sejak tahun 1930-an, Real Madrid memang selalu memiliki sumber dana besar untuk belanja pemain. Barcelona sendiri, pada 2 dasawarsa tersebut hanya bisa memenangi 4 kali liga spanyol, 2 kali piala raja, dan satu kali piala Inter City Honest (yang kemudian menjadi UEFA Cup).


Pada tahun 1973, seorang pemain Belanda yang kelak menjadi salah satu legenda Barcelona, Johan Cruyff, bergabung dari Ajax. Dalam pernyataan persnya ketika diperkenalkan, Cruyff menyatakan bahwa ia lebih memilih Barcelona dibanding Real Madrid karena ia tidak akan mau bermain di sebuah klub yang diasosiasikan dengan Franco. Bersama kompatriotnya, Johan Neeskens, mereka langsung membawa Barcelona memenangi gelar liga spanyol (setelah sebelumnya 14 tahun puasa gelar), dan dalam prosesnya tahun itu sempat mengalahkan Real Madrid di kandang Madrid sendiri dengan skor 5-0. Pada tahun itu Johan Cruyff dinobatkan sebagai pesepakbola terbaik Eropa, dan memberi nama anaknya dengan nama khas Catalan, yaitu Jordi. Statusnya sebagai legenda menjadi abadi. Jordi Cruyff sendiri pada akhirnya tidak pernah bisa sebesar ayahnya. Karir sepakbolanya lebih banyak dihabiskan di klub-klub medioker, meski sempat beberapa tahun memperkuat Manchester United.

Selanjutnya, permusuhan itu terus ada, meskipun tidak sesengit pada tahun-tahun awalnya, sampai sekarang. Bisa dibilang, rivalitas saat ini sudah lebih sportif dan berjalan dengan lebih sehat. Tapi permusuhan yang sejak dulu telah begitu mengakar menjadikan duel diantara keduanya selalu menjanjikan sesuatu yang spesial. Inilah mengapa duel antara Barcelona dengan Real Madrid yang terjadi setidaknya 2 kali setiap tahunnya (di liga Spanyol) disebut dengan el classico, karena memang menyajikan satu duel klasik dengan sejarah panjang terbentang dibelakangnya.


Meski berulang setiap tahun, akan tetapi saking monumentalnya duel ini membuat Johan Cruyff dan Bobby Robson ketika menjadi pelatih Barcelona pada era akhir 1980-an sampai akhir 1990-an sampai mengibaratkan el classico sebagai sebuah perang, bukan sekedar pertandingan sepak bola. Baik pelatih Real Madrid maupun pelatih Barcelona ketika menghadapi el classico akan merasa seperti membawa sepasukan 'serdadu' perang, bukan sebuah 'kesebelasan' sepak bola, karena begitu besarnya kehormatan yang dipertaruhkan. Demikian juga pertaruhan bagi pelatih, karena ketika dia diangkat sebagai pelatih seolah sudah ada beban yang diberikan oleh klub: "Anda boleh kalah dari siapa saja di liga ini, tapi jangan sampai kalah dari Real Madrid...," Meski begitu di dalam lapangan, peperangan ini sepanjang sejarahnya selalu berlangsung dalam sportifitas yang tinggi, karena sportifitas pun merupakan satu bentuk kehormatan yang harus dijaga. Ini soal nama baik.

Transfer pemain adalah salah satu bentuk perang di luar lapangan. Dalam hal ini, perpindahan pemain dari Barcelona ke Real Madrid (maupun sebaliknya) akan dianggap sebagai sebuah bentuk pengkhianatans Figo mungkin adalah salah seorang yang paling mengerti mengenai hal ini. Direkrut oleh Barcelona pada tahun 1996, pemain Portugal yang kala itu bukan siapa-siapaa tersebut kemudian menemui masa-masa jayanya. Barcelona memberinya peranan signifikan sebagai sayap kanan tim, dan bersama Rivaldo membawa Barcelona berjaya pada akhir tahun 1990an. Akan tetapi, pada tahun 2001, dunia tersentak ketika Figo menerima tawaran Real Madrid dengan iming-iming gaji dua kali lipat dan nilai transfer yang ketika itu menjadi rekor pembelian termahal seorang pemain sepak bola. Nilai itu melebihi batas klausul transfer Figo, sehingga Barcelona harus menerima tawaran tersebut berdasarkan aturan Bosman. Meski begitu, transfer itu tetap tidak akan terjadi seandainya Figo secara pribadi tidak menerima tawaran Real Madrid. Toh akhirnya Figo berkhianat.


Dalam duel el classico tahun berikutnya, ketika pertandingan dilangsungkan di Nou Camp (kandang Barcelona), Figo menerima sambutan monumental yang mungkin tidak akan dilupakannya seumur hidup. Seorang pendukung Barcelona di tengah-tengah pertandingan berhasil menerobos pagar petugas keamanan, sambil memakai bendera Barcelona sebagai jubah, kemudian berlari ke arah Figo membawa sebuah hadiah istimewa, yakni: Sebuah kepala babi, lengkap dengan darah masih menetes dari lehernya. Ia kemudian melemparkan bendera Barcelona dan kepala babi itu ke arah Figo. Figo sendiri hanya terdiam menunduk beberapa saat, lalu berjalan menjauh. entah apa yg yg ada dalam pikiranya saat itu. karena ia tahu kepala babi itu adalah simbol keserakahan dan penghianatan. pertandingan tersebut juga disebut sebagai "Derby yang Memalukan" oleh harian Marca.


Laga el classico ini juga mempengaruhi peta perang media massa di spanyol. Sebelumnya Marca dan Mundo Deportivo netral. Tetapi seiring berjalanya waktu kedua media massa tersebut harus memilih salah satu pihak agar oplah penjualan Koran bisa naik. Saking pentingnya kedua klub ini bagi media massa di spanyol, klub2 lain kurang mendapat perhatian dan ekspos dari media hingga saat ini. Ekspos media yg secara besar2an terhadap el classico membuat semua orang di spanyol memilih salah satu klub tersebut. El classico memang di tonton jutaan orang dari seluruh penjuru dunia. Tidak peduli klub apa yg di dukung, Kala el classico berlangsung setiap orang akan memihak salah satu diantara keduanya.






Sumber:

Buku derby karya Rockin Marvin

No comments:

Post a Comment